Seperti
halnya orang sakit, bumi saat ini telah mencapai fase sekarat. Iklim
berubah-ubah secara ekstrem, cuaca dan musim tak bisa ditebak. Saat musim
kemarau, bumi terasa sangat panas, air surut, pohon-pohon mati, hewan pun mati
akibat pasokan air berkurang. Saat musim hujan tiba, banjir, longsor dan abrasi
tiba di pelupuk mata warga lereng gunung yang gundul. Dampak era pemanasan
global ini dirasakan manusia sebagai masa-masa krisis yang selalu dikaitkan
dengan hari akhir atau bencana global. Berikut tiga hal perusakan alam yang
sering dilakukan manusia.
1. Perusakan Hutan
Hutan-hutan di
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tertinggi di dunia, meskipun luas
daratannya hanya 1,3 persen dari luas daratan di permukaan bumi, atau sekitar
138 juta hektar. Kekayaan hayatinya mencapai 11 persen spesies tumbuhan yang
terdapat di permukaan bumi. Selain itu, terdapat 10 persen spesies mamalia dari
total binatang mamalia bumi, dan 16 persen spesies burung di dunia.
Dinas Kehutanan Indonesia pada 1950 pernah
merilis peta vegetasi. Peta yang memberikan informasi lugas, bahwa, dulunya
sekitar 84 persen luas daratan Indonesia (162.290.000 hektar) pada masa itu,
tertutup hutan primer dan sekunder, termasuk seluruh tipe perkebunan. Peta vegetasi
pada tahun 1950 juga menyebutkan luas hutan per pulau secara bertutut-turut,
Kalimantan memiliki areal hutan seluas 51.400.000 hektar, Irian Jaya seluas
40.700.000 hektar, Sumatera seluas 37.370.000 hektar, Sulawesi seluas
17.050.000 hektar, Maluku seluas 7.300.000 hektar, Jawa seluas 5.070.000 hektar
dan terakhir Bali dan Nusa Tenggara Barat/Timur seluas 3.400.000 hektar. Namun
kekayaan ini tampaknya tidak dipertahankan dengan baik.
Memasuki era 1970-an, hutan Indonesia
menginjak babak baru. Di masa era ini, deforestrasi (menghilangnya lahan hutan)
mulai menjadi masalah serius. Industri perkayuan memang sedang tumbuh. Pohon
bagaikan emas coklat yang menggiurkan keuntungannya. Lalu penebangan hutan
secara komersial mulai dibuka besar-besaran. Saat itu terdapat konsesi
pembalakan hutan (illegal logging), yang awalnya bertujuan untuk mengembangkan
sistem produksi kayu untuk kepentingan masa depan.
Pada akhirnya langkah ini terus melaju
menuju degradasi hutan yang serius. Kondisi ini juga diikuti oleh pembukaan
lahan dan konversi menjadi bentuk pemakaian lahan lainnya. Hasil survei yang
dilakukan pemerintah menyebutkan bahwa tutupan
hutan pada tahun 1985 mencapai 119 juta hektar. Bila dibandingkan dengan
luas hutan tahun 1950 maka terjadi penurunan sebesar 27 persen. Antara 1970-an,
laju deforestrasi diperkiarakan antara 0,6 da 1,2 juta hektar. Namun
angka-angka itu segera diralat ketika pemerintah dan Bank Dunia pada 1999
bekerjasama melakukan pemetaan ulang pada areal tutupan hutan. Menurut survei 1999
itu, laju deforestrasi rata-rata dari tahun 1985-1997 mencapai 1.7 juta hektar.
Selama masa periode tersebut, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera mengalami
deforestrasi terbesar. Secara keseluruhan daerah-daerah ini kehilangan lebih
dari 20 persen tutupan hutannya. Para ahli pun sepakat, bila kondisinya masih
begitu terus, hutan dataran rendah non rawa akan lenyap dari Sumatera pada 2005
dan Kalimantan setelah 2010.
Pada akhirnya ditarik suatu kesimpulan yang
mengejutkan. Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang
sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan
aslinya sebesar 72 persen. Bahkan Guinness World Records pada tahun 2008
menyematkan rekor pada Indonesia sebagai negara yang paling kencang laju kerusakan
hutannya di dunia.
Reboisasi lahan gundul dan metode tebang
pilih merupakan kombinasi kedua teknik yang wajib dilakukan oleh para pemilik
sertifikat HPH (Hak Pengelolaan Hutan). Para perusahaan penebang pohon harus
memilih-milih pohon mana yang sudah cukup umur dan ukuran untuk ditebang.
Setelah menebang satu pohon sebaiknya diikuti dengan penanaman kembali beberapa
bibit pohon untuk menggantikan pohon yang ditebang tersebut. Lahan yang telah
gundul dan rusak karena berbagai hal juga diusahakan dilaksanakan reboisasi
untuk mengembalikan pepohonan dan tanaman yang telah hilang.
2. Lahan
Bekas Tambang Perusak Ekosistem
Habis manis sepah dibuang. Itulah pepatah
yang bisa menggambarkan kerusakan yang diakibatkan oleh sisa pertambangan.
Pertambangan bukan hal yang dilarang, akan tetapi pembenahan paska tambang
harus diperhatikan. Alam asri yang terdeteksi memiliki kandungan barang tambang
di dalamnya, tak segan-segan dibabat dan dilubangi, kemudian dikuras sampai
habis. Setelah itu, ditinggalkan dan dibiarkan menganga seperti danau buatan.
Dari segi keselamatan, hal tersebut sangat membahayakan bagi manusia yang bisa
saja terperosok ke dalam lubang sedalam ratusan meter. Akan tetapi hal yang
lebih mengkhawatirkan bagi semua penduduk bumi adalah dampak buruk paska
tanbang yang tidak direhabilitasi. Advokasi tambang (jatam) memperkirakan,
sekitar 70% kerusakan lingkungan Indonesia dikarenakan operasi pertambangan.
Sebanyak 3,97 juta hektar kawasan lindung terancam pertambangan, termasuk
keragaman hayati di dalamnya. Bukan hanya itu saja, Daerah Aliran Sungai (DAS)
rusak parah mengingat dalam 10 tahun terakhir terdapat 4000 DAS di Indonesia,
dan 108 di antaranya rusak parah. Kegiatan pertambangan dapat berdampak pada
rusaknya ekosistem. Lingkungan yang rusak dapat diartikan sebagai suatu
ekosistem yang tidak dapat lagi menjalankan fungsinya secara optimal, seperti
perlindungan tanah, tata air, pengatur cuaca, dan fungsi-fungsi lainnya dalam
mengatur perlindungan alam lingkungan.
Kegiatan pertambangan seringkali
menyebabkan kerusakan lingkungan, sehingga menyebabkan penurunan mutu
lingkungan, berupa kerusakan ekosistem yang akan mengancam dan membahayakan
kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Kegiatan seperti ini sangat
bertanggungjawab atas kerusakan ekosistem yang terjadi. Akibat yang ditimbulkan
diantaranya kondisi fisik, kimia, dan biologis tanah menjadi buruk contohnya
lapisan tanah tidak berprofil, terjadi bulk density (pemadatan), kekurangan
unsur hara yang penting, PH rendah, penurunan populasi mikroba tanah serta
pencemaran oleh logam-logam berat pada lahan bekas tambang.
Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan
memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan
usaha pertambangan, agara dpaat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya
(Rahmawaty, 2002). Pada paska tambang, kegiatan yang utama dalam merehabilitasi
lahan adalah mengupayakan agar lahan yang sudah digali tadi menjadi ekosistem
yang berfungsi optimal kembali atau bahkan menjadi lebih baik. Reklamasi lahan
dilakukan dengan mengurug kembali lubang bekas tambang dan melapisinya dengan
tanah pucuk, dan vegetasi lahan, kemudian diikuti dengan pengaturan drainase
dan pencegahan air asam tambang. Pencegahan air asam tambang dapat diupayakan
dengan penimbunan bebatuan agar zat yang mengandung sulfida tidak keluar ke
udara bebas, serta dengan mengatur drainasenya.
Selain reklamasi juga dapat dilakukan
revegetasi yang merupakan perbaikan kondisi tanah yang meliputi perbaikan ruang
tubuh, pemberian tanah pucuk dan bahan organik serta pemupukan dasar dan
pemberian kapur.
Singkatnya, untuk menunjang keberhasilan
dalam merestorasi lahan bekas tambang maka harus dilakukan langkah-langkah
seperti perbaikan lahan pra-tanam, pemilihan spesies yang cocok, dan penggunaan
pupuk.
3.
Pencemaran Air Oleh
Limbah Rumah Tangga
Air yang merupakan unsur terpenting yang
harus dijaga agar bumi tetap lestari. Saat mencuci pakaian, keramas,
membersihkan peralatan makan, sampai mencuci kendaraan kita kerap menggunakan
sabun atau deterjen yang tidak ramah lingkungan yang dibuang ke selokan. Hal
tersebut akan menjadi limbah rumah tangga yang terlihat sepele namun
menimbulkan efek paling berbahaya. Dapat kita bayangkan jika kita mencuci,
dikalikan satu bulan. Belum lagi ditambah dengan orang-orang yang mencuci
kendaraan.
Penggunaan ABS sebagai surfaktan dalam
deterjen merupakan penyebab dari penumpukan limbah rumah tangga di sungai atau
di laut. Busa yang menumpuk hasil ABS ini sulit terurai oleh mikroorganisme
sehingga membuat air sungai dan laut menjadi kekurangan oksigen. Akhirnya
membahayakan kelangsungan biota yang hidup di dalamnya. Bukan hanya mati, biota
sungai dan laut juga bisa cacat akibat mutasi gen. Terlebih lagi air yang
tercemar tersebut digunakan manusia untuk diminum.
Berdasarkan data resmi Badan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Jakarta, setidaknya ada 1,3 juta meter kubik limbah cair rumah
tangga dari 22 juta penduduk Jabodetabek dan 1600 industri setiap hari yang
digelontorkan ke laut dari 13 sungai besar mulai dari Sungai Kamal hingga
Cakung. Hal ini belum termasuk beban 500 ribu ton sampah per tahunnya yang
menjadi polutan beracun perairan Teluk Jakarta.
Bukan hanya terjadi di Jakarta, ternyata
masalah serupa juga terjadi di seluruh dunia, bahkan hingga menyebabkan
kematian. Pada tahun 1848 dan 1853 terjadi wabah kolera di London yang
menewaskan 10.000 penduduk sekitar Sungai Themes akibat perairan sungai
tersebut tercemar oleh limbah rumah tangga. Selain itu, tragedi Minamata di
Jepang pun terjadi karena kadar merkuri pada ikan mencapai 10 ppm. Padahal,
hasil uji di laboratorium terhadapa ikan dan kerang di Teluk Jakarta
menunjukkan kandungan timah hitam pada kedua hewan laut yang menjadi makanan
manusia itu sebesar 8,43 ppm, jauh di atas batas aman yaitu 0,4 ppm, sedangkan
ikan cukang mengandung merkuri sebesar 6,72 ppm. Dapat kita bayangkan
berbahayanya kandungan ikan yang di tangkap dari Teluk Jakarta.
Deterjen yang dapat diuraikan oleh alam,
terbuat dari enzim alami, garam mineral dan minyak tumbuhan yang dapat
menghasilkan cucian yang bersih maksimal sekaligus ramah lingkungan. Jika kamu
masih bingung mencarinya, cara termudah mendapatkannya sebagai berikut,
1.
Perhatikan
jenis surfaktan yang digunakan dalam deterjen tersebut. Jangan pilih yang sulit
terurai seperti ABS, pilihlah yang ramah lingkungan seperti LAS (Linear Alkyl
Benzene Sulfonate).
2.
Cari
deterjen yang sedikit busanya. Dengan sedikit busa, air yang digunakan untuk
membilas juga tidak perlu banyak.
3.
Cari
deterjen yang sama sekali tidak mengandung fosfat. Jika mengandung fosfat,
sebisa mungkin pilih yang kadarnya rendah dan bisa digunakan untuk menyiram
tanaman. Karena fosfat sangat buruk untuk badan air, tapi baik untuk tanah dan
tanaman.
4.
Cari
produk lokal untuk meminimalisir jejak karbon yang ditimbulkan dari
transportasi.
Cairan beracun Industri dialirkan ke
sungai, masyarakat membuang sampah di kali, mengeruk hasil laut dengan bom,
penjarahan terumbu karang, lagalisasi konsumsi ikan hiu dan paus, perdagangan
gelap penyu, hingga hal terkecil membuang puntung rokok ke selokan. Belum lagi
air bersih karunia alam dari sang pencipta yang seharusnya diberikan secara
gratis kepada masyarakat, kini dijualbelikan, bahkan tarifnya dinaikkan hingga
hampir 100 persen. Bagaikan manusia yang kehausan akibat kehabisan cairan tubuh maka
akan lemas, kurus kering, kemudian mati.
Save The Earth Now And Let's Go Green Lifestyle
Manusia merupakan penyebab
utama terjadinya kerusakan lingkungan. Dengan semakin bertambahnya jumlah
populasi manusia, tak dapat dipungkiri kebutuhan hidup pun meningkat. Akibatnya
terjadi peningkatan permintaan akan lahan seperti di sektor pertanian,
pertambangan, perumahan, hingga kebutuhan air bersih. Sejalan dengan hal
tersebut dan didukung dengan teknologi yang canggih untuk memodifikasi alam,
maka manusialah satu-satunya faktor yang paling dominan dalam merusak dan
memperbaiki ekosistem seperti sediakala. Sebelum bumi mati, sebelum kita
diterkam bencana alam, mari selamatkan bumi dari hal terkecil yang utama demi
kelangsungan hidup manusia kini dan generasi yang akan datang. [NHS]
sumber: Majalah Atmosphere Indonesia ed.
9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar