Minggu, 06 Januari 2013

EARTH IS DYING


Seperti halnya orang sakit, bumi saat ini telah mencapai fase sekarat. Iklim berubah-ubah secara ekstrem, cuaca dan musim tak bisa ditebak. Saat musim kemarau, bumi terasa sangat panas, air surut, pohon-pohon mati, hewan pun mati akibat pasokan air berkurang. Saat musim hujan tiba, banjir, longsor dan abrasi tiba di pelupuk mata warga lereng gunung yang gundul. Dampak era pemanasan global ini dirasakan manusia sebagai masa-masa krisis yang selalu dikaitkan dengan hari akhir atau bencana global. Berikut tiga hal perusakan alam yang sering dilakukan manusia. 

1. Perusakan Hutan
     Hutan-hutan di Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tertinggi di dunia, meskipun luas daratannya hanya 1,3 persen dari luas daratan di permukaan bumi, atau sekitar 138 juta hektar. Kekayaan hayatinya mencapai 11 persen spesies tumbuhan yang terdapat di permukaan bumi. Selain itu, terdapat 10 persen spesies mamalia dari total binatang mamalia bumi, dan 16 persen spesies burung di dunia.
    Dinas Kehutanan Indonesia pada 1950 pernah merilis peta vegetasi. Peta yang memberikan informasi lugas, bahwa, dulunya sekitar 84 persen luas daratan Indonesia (162.290.000 hektar) pada masa itu, tertutup hutan primer dan sekunder, termasuk seluruh tipe perkebunan. Peta vegetasi pada tahun 1950 juga menyebutkan luas hutan per pulau secara bertutut-turut, Kalimantan memiliki areal hutan seluas 51.400.000 hektar, Irian Jaya seluas 40.700.000 hektar, Sumatera seluas 37.370.000 hektar, Sulawesi seluas 17.050.000 hektar, Maluku seluas 7.300.000 hektar, Jawa seluas 5.070.000 hektar dan terakhir Bali dan Nusa Tenggara Barat/Timur seluas 3.400.000 hektar. Namun kekayaan ini tampaknya tidak dipertahankan dengan baik.
    Memasuki era 1970-an, hutan Indonesia menginjak babak baru. Di masa era ini, deforestrasi (menghilangnya lahan hutan) mulai menjadi masalah serius. Industri perkayuan memang sedang tumbuh. Pohon bagaikan emas coklat yang menggiurkan keuntungannya. Lalu penebangan hutan secara komersial mulai dibuka besar-besaran. Saat itu terdapat konsesi pembalakan hutan (illegal logging), yang awalnya bertujuan untuk mengembangkan sistem produksi kayu untuk kepentingan masa depan.
    Pada akhirnya langkah ini terus melaju menuju degradasi hutan yang serius. Kondisi ini juga diikuti oleh pembukaan lahan dan konversi menjadi bentuk pemakaian lahan lainnya. Hasil survei yang dilakukan pemerintah menyebutkan bahwa tutupan  hutan pada tahun 1985 mencapai 119 juta hektar. Bila dibandingkan dengan luas hutan tahun 1950 maka terjadi penurunan sebesar 27 persen. Antara 1970-an, laju deforestrasi diperkiarakan antara 0,6 da 1,2 juta hektar. Namun angka-angka itu segera diralat ketika pemerintah dan Bank Dunia pada 1999 bekerjasama melakukan pemetaan ulang pada areal tutupan hutan. Menurut survei 1999 itu, laju deforestrasi rata-rata dari tahun 1985-1997 mencapai 1.7 juta hektar. Selama masa periode tersebut, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera mengalami deforestrasi terbesar. Secara keseluruhan daerah-daerah ini kehilangan lebih dari 20 persen tutupan hutannya. Para ahli pun sepakat, bila kondisinya masih begitu terus, hutan dataran rendah non rawa akan lenyap dari Sumatera pada 2005 dan Kalimantan setelah 2010.
    Pada akhirnya ditarik suatu kesimpulan yang mengejutkan. Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen. Bahkan Guinness World Records pada tahun 2008 menyematkan rekor pada Indonesia sebagai negara yang paling kencang laju kerusakan hutannya di dunia.
    Reboisasi lahan gundul dan metode tebang pilih merupakan kombinasi kedua teknik yang wajib dilakukan oleh para pemilik sertifikat HPH (Hak Pengelolaan Hutan). Para perusahaan penebang pohon harus memilih-milih pohon mana yang sudah cukup umur dan ukuran untuk ditebang. Setelah menebang satu pohon sebaiknya diikuti dengan penanaman kembali beberapa bibit pohon untuk menggantikan pohon yang ditebang tersebut. Lahan yang telah gundul dan rusak karena berbagai hal juga diusahakan dilaksanakan reboisasi untuk mengembalikan pepohonan dan tanaman yang telah hilang.

2. Lahan Bekas Tambang Perusak Ekosistem
      Habis manis sepah dibuang. Itulah pepatah yang bisa menggambarkan kerusakan yang diakibatkan oleh sisa pertambangan. Pertambangan bukan hal yang dilarang, akan tetapi pembenahan paska tambang harus diperhatikan. Alam asri yang terdeteksi memiliki kandungan barang tambang di dalamnya, tak segan-segan dibabat dan dilubangi, kemudian dikuras sampai habis. Setelah itu, ditinggalkan dan dibiarkan menganga seperti danau buatan. Dari segi keselamatan, hal tersebut sangat membahayakan bagi manusia yang bisa saja terperosok ke dalam lubang sedalam ratusan meter. Akan tetapi hal yang lebih mengkhawatirkan bagi semua penduduk bumi adalah dampak buruk paska tanbang yang tidak direhabilitasi. Advokasi tambang (jatam) memperkirakan, sekitar 70% kerusakan lingkungan Indonesia dikarenakan operasi pertambangan. Sebanyak 3,97 juta hektar kawasan lindung terancam pertambangan, termasuk keragaman hayati di dalamnya. Bukan hanya itu saja, Daerah Aliran Sungai (DAS) rusak parah mengingat dalam 10 tahun terakhir terdapat 4000 DAS di Indonesia, dan 108 di antaranya rusak parah. Kegiatan pertambangan dapat berdampak pada rusaknya ekosistem. Lingkungan yang rusak dapat diartikan sebagai suatu ekosistem yang tidak dapat lagi menjalankan fungsinya secara optimal, seperti perlindungan tanah, tata air, pengatur cuaca, dan fungsi-fungsi lainnya dalam mengatur perlindungan alam lingkungan.
    Kegiatan pertambangan seringkali menyebabkan kerusakan lingkungan, sehingga menyebabkan penurunan mutu lingkungan, berupa kerusakan ekosistem yang akan mengancam dan membahayakan kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Kegiatan seperti ini sangat bertanggungjawab atas kerusakan ekosistem yang terjadi. Akibat yang ditimbulkan diantaranya kondisi fisik, kimia, dan biologis tanah menjadi buruk contohnya lapisan tanah tidak berprofil, terjadi bulk density (pemadatan), kekurangan unsur hara yang penting, PH rendah, penurunan populasi mikroba tanah serta pencemaran oleh logam-logam berat pada lahan bekas tambang.
     Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan, agara dpaat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya (Rahmawaty, 2002). Pada paska tambang, kegiatan yang utama dalam merehabilitasi lahan adalah mengupayakan agar lahan yang sudah digali tadi menjadi ekosistem yang berfungsi optimal kembali atau bahkan menjadi lebih baik. Reklamasi lahan dilakukan dengan mengurug kembali lubang bekas tambang dan melapisinya dengan tanah pucuk, dan vegetasi lahan, kemudian diikuti dengan pengaturan drainase dan pencegahan air asam tambang. Pencegahan air asam tambang dapat diupayakan dengan penimbunan bebatuan agar zat yang mengandung sulfida tidak keluar ke udara bebas, serta dengan mengatur drainasenya.
    Selain reklamasi juga dapat dilakukan revegetasi yang merupakan perbaikan kondisi tanah yang meliputi perbaikan ruang tubuh, pemberian tanah pucuk dan bahan organik serta pemupukan dasar dan pemberian kapur.
   Singkatnya, untuk menunjang keberhasilan dalam merestorasi lahan bekas tambang maka harus dilakukan langkah-langkah seperti perbaikan lahan pra-tanam, pemilihan spesies yang cocok, dan penggunaan pupuk.

3. Pencemaran Air Oleh Limbah Rumah Tangga
    Air yang merupakan unsur terpenting yang harus dijaga agar bumi tetap lestari. Saat mencuci pakaian, keramas, membersihkan peralatan makan, sampai mencuci kendaraan kita kerap menggunakan sabun atau deterjen yang tidak ramah lingkungan yang dibuang ke selokan. Hal tersebut akan menjadi limbah rumah tangga yang terlihat sepele namun menimbulkan efek paling berbahaya. Dapat kita bayangkan jika kita mencuci, dikalikan satu bulan. Belum lagi ditambah dengan orang-orang yang mencuci kendaraan.
     Penggunaan ABS sebagai surfaktan dalam deterjen merupakan penyebab dari penumpukan limbah rumah tangga di sungai atau di laut. Busa yang menumpuk hasil ABS ini sulit terurai oleh mikroorganisme sehingga membuat air sungai dan laut menjadi kekurangan oksigen. Akhirnya membahayakan kelangsungan biota yang hidup di dalamnya. Bukan hanya mati, biota sungai dan laut juga bisa cacat akibat mutasi gen. Terlebih lagi air yang tercemar tersebut digunakan manusia untuk diminum.
    Berdasarkan data resmi Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Jakarta, setidaknya ada 1,3 juta meter kubik limbah cair rumah tangga dari 22 juta penduduk Jabodetabek dan 1600 industri setiap hari yang digelontorkan ke laut dari 13 sungai besar mulai dari Sungai Kamal hingga Cakung. Hal ini belum termasuk beban 500 ribu ton sampah per tahunnya yang menjadi polutan beracun perairan Teluk Jakarta.
     Bukan hanya terjadi di Jakarta, ternyata masalah serupa juga terjadi di seluruh dunia, bahkan hingga menyebabkan kematian. Pada tahun 1848 dan 1853 terjadi wabah kolera di London yang menewaskan 10.000 penduduk sekitar Sungai Themes akibat perairan sungai tersebut tercemar oleh limbah rumah tangga. Selain itu, tragedi Minamata di Jepang pun terjadi karena kadar merkuri pada ikan mencapai 10 ppm. Padahal, hasil uji di laboratorium terhadapa ikan dan kerang di Teluk Jakarta menunjukkan kandungan timah hitam pada kedua hewan laut yang menjadi makanan manusia itu sebesar 8,43 ppm, jauh di atas batas aman yaitu 0,4 ppm, sedangkan ikan cukang mengandung merkuri sebesar 6,72 ppm. Dapat kita bayangkan berbahayanya kandungan ikan yang di tangkap dari Teluk Jakarta.
    Deterjen yang dapat diuraikan oleh alam, terbuat dari enzim alami, garam mineral dan minyak tumbuhan yang dapat menghasilkan cucian yang bersih maksimal sekaligus ramah lingkungan. Jika kamu masih bingung mencarinya, cara termudah mendapatkannya sebagai berikut,
1.     Perhatikan jenis surfaktan yang digunakan dalam deterjen tersebut. Jangan pilih yang sulit terurai seperti ABS, pilihlah yang ramah lingkungan seperti LAS (Linear Alkyl Benzene Sulfonate).
2.     Cari deterjen yang sedikit busanya. Dengan sedikit busa, air yang digunakan untuk membilas juga tidak perlu banyak.
3.     Cari deterjen yang sama sekali tidak mengandung fosfat. Jika mengandung fosfat, sebisa mungkin pilih yang kadarnya rendah dan bisa digunakan untuk menyiram tanaman. Karena fosfat sangat buruk untuk badan air, tapi baik untuk tanah dan tanaman.
4.     Cari produk lokal untuk meminimalisir jejak karbon yang ditimbulkan dari transportasi.
      Cairan beracun Industri dialirkan ke sungai, masyarakat membuang sampah di kali, mengeruk hasil laut dengan bom, penjarahan terumbu karang, lagalisasi konsumsi ikan hiu dan paus, perdagangan gelap penyu, hingga hal terkecil membuang puntung rokok ke selokan. Belum lagi air bersih karunia alam dari sang pencipta yang seharusnya diberikan secara gratis kepada masyarakat, kini dijualbelikan, bahkan tarifnya dinaikkan hingga hampir 100 persen. Bagaikan manusia yang kehausan akibat kehabisan cairan tubuh maka akan lemas, kurus kering, kemudian mati.

Save The Earth Now And Let's Go Green Lifestyle
       Manusia merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan. Dengan semakin bertambahnya jumlah populasi manusia, tak dapat dipungkiri kebutuhan hidup pun meningkat. Akibatnya terjadi peningkatan permintaan akan lahan seperti di sektor pertanian, pertambangan, perumahan, hingga kebutuhan air bersih. Sejalan dengan hal tersebut dan didukung dengan teknologi yang canggih untuk memodifikasi alam, maka manusialah satu-satunya faktor yang paling dominan dalam merusak dan memperbaiki ekosistem seperti sediakala. Sebelum bumi mati, sebelum kita diterkam bencana alam, mari selamatkan bumi dari hal terkecil yang utama demi kelangsungan hidup manusia kini dan generasi yang akan datang. [NHS]

sumber: Majalah Atmosphere Indonesia ed. 9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar